Surban dan Jubah haram..

Dalam kitab Sunan Ibn Majah, ada hadis bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, Allah SWT akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar di api neraka.

Menurut para ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang berbeda dari pakaian yang dipakai penduduk negeri di mana pemakainya tinggal. Disebut pakaian syuhrah(popularitas) karena pemakainya dengan pakaian tersebut ingin mudah dikenal oleh orang-orang.

Pakaian syuhrah adakalanya berbeda dari pakaian umumnya penduduk suatu negeri karena terlalu bagus atau berbeda karena terlalu buruk.

Ketika pakaian itu berbeda dengan yang lain karena terlalu bagus, pemakainya ingin tampil berbeda dari orang-orang pada umumnya.

Akibatnya, dia merasa berbeda dari yang lain sehingga kemudian ia merasa bangga, sombong, ria, sum’ah, dan lain sebagainya.

Ketika pakaian itu berbeda karena sangat lebih buruk dari pakaian orang-orang pada umumnya, pemakainya ingin disebut sebagai orang yang zuhud, tidak mencintai dunia, dan lain sebagainya. Berdasarkan hadis ini, para ulama sepakat pakaian syuhrah adalah haram dikenakan.

Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis serban dan jubah, yang di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori pakaian syuhrah karena masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian seperti itu.

Pada abad lalu, serban dan jubah mungkin sudah menjadi tradisi pakaian ulama. KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain, memakai serban. Maka pada masa itu, serban sudah menjadi tradisi para ulama.

Karenanya, sah-sah saja, ulama memakai serban. Dasarnya adalah mengikuti tradisi. Memang, dalam hadis yang sahih, Nabi SAW memakai serban karena bangsa Arab pada waktu itu juga mengenakan serban.

Maka, serban (membungkus kepala dengan dua sampai tiga ubel-ubel) adalah tradisi bangsa Arab pada saat itu. Orang Islam dan orang musyrikin juga sama-sama memakai serban.

Dalam hadis riwayat Abu Dawud dan al-Tirmidzi, Nabi SAW bersabda, ”Perbedaan antara serban kita dengan serban orang musyrikin adalah memakai kopiah lebih dahulu.”

Para ulama papan atas dari Saudi Arabia seperti, Mufti besar Syekh bin Baz rahimahullah, Mufti besar masa kini, Syekh Abdul Aziz Alu Syaikh, Syekh Shaleh bin Muhammad al-‘Utsaimin, dan lain-lain, semuanya sepakat memakai serban bukan merupakan ibadah.

Tidak sunah apalagi wajib, namun hanya mengikuti tradisi bangsa Arab pada saat itu. Hal itu harena tidak ada satu hadis pun yang sahih yang menerangkan keutamaan memakai serban. Semua hadis tentang keutamaan memakai serban adalah hadis-hadis palsu.

Menurut para ulama itu, sunah Nabi dalam berpakaian adalah kita berpakaian dengan pakaian yang lazim dipakai oleh masyarakat di mana kita berada, kecuali apabila kita menjadi tamu di sebuah negeri, kita boleh memakai pakaian negeri kita sendiri, seperti orang Indonesia yang sedang beribadah haji di Mekah

Menciptakan Takdir..

Menarik memang untuk di kaji tentang Takdir, ketetapan Allah atas segala sesuatu terutama menyangkut dengan nasib manusia, apakah Allah telah menentukan segala sesuatu dari awal tanpa bisa di ubah sama sekali atau Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan nasibnya sendiri berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Dalam sejarah, Takdir menjadi perdebatan panjang yang tidak selesai sampai sekarang dan mungkin sampai kapan pun. Tentang Takdir ada 3 pendapat berbeda dari masing-masing kelompok besar yakni :

Menurut konsep Asy’ariyah (Sunni): semua sudah ditentukan Allah, tidak adafreewill (keinginan atau kehendak bebas). Asy’ariyah meyakini konsep ‘Jabbariah‘ (semacam keterpaksaan), yakni bahwa perbuatan manusia adalah kehendak Tuhan. Seorang teman menganalogikan ini seperti wayang yang tergantung pada keinginan dalang. Menurut Asy’ariah: Qadha dan Qadr itu mutlak (100 prosen) merupakan ketetapan Allah, termasuk yang baik (khair) dan yang buruk (syar).

Mu’tazilah meyakini semuanya adalah murni seratus prosen kehendak bebas (freewill)manusia, dan tidak ada campur tangan Allah. Mu’tazilah percaya pada konsep ‘Qadariyah‘. (Qadara = kemampuan). Mereka meyakini perbuatan manusia adalah perbuatannya semata, tanpa campur tangan kekuatan Allah. Bagi Mu’tazilahQadha dan Qadr itu 100 prosen adalah hasil ikhtiar manusia sendiri.

Sedangkan Syi’ah meyakini bahwa kehendak Allah di atas kehendak manusia. Artinya Allah berkehendak apabila manusia menghendakinya. Konsep Syiah Ja’fari/ Itsna’asarriah dalam hal ini berada di tengah, antara kedua yang di atas — Tafwid bayna asy’ari wa mu’tazili (Tidak Asy’ari dan Tidak Mu’tazili, melainkan di antara keduanya). Syiah berpendapat bahwa Qadha dan Qadr merupakan ketetapan Allah berdasarkan hasil ikhtiar manusia..Artinya, Allah menetapkan hukum-hukum dan manusia memiliki freewill untuk memilih, tetapi Allah memiliki pengetahuan tentang apa yang akan terjadi. (syafiqb.com)

Saya tidak membahas secara rinci tentang 3 pendapat ini karena masing-masing mempunyai dalil yang kuat untuk mendukung pendapatnya. Bagi kalangan sunni pada umumnya yang meyakini bahwa segala sesuatu telah ditetapkan Allah dan manusia tidak mempunyai pilihan sama sekali tentu tidak akan menerima pendapat dari kalangan muktazilah yang meyakini manusia berperan 100 persen dalam menentukan nasibnya.

Sebagaimana yang kita ketahui, manusia terlahir ke dunia dalam keadaan fitrah (suci), tanpa dosa, orang tua nya ikut berperan menentukan akan menjadi seperti apa anak tersebut, baik atau buruk, beriman atau kafir, termasuk lingkungan dimana dia tinggal. Seorang anak yang terlahir dalam suku terpencil dan terbelakang tanpa mengenal budaya dan agama, tidak pernah mendapat informasi tentang kebenaran, sudah bisa dipastikan anak tersebut kelak akan mengikuti keyakinan orang tua nya, mengikuti tradisi yang dia kenal, lalu apakah takdirnya memang menjadi orang tersesat? Padahal manusia ditakdirkan Allah seluruhnya lahir dalam kondisi suci.

Manusia juga secara keseluruhan pada hakikatnya berada dalam kondisi makrifat (mengenal Allah) jauh sebelum lahir ke dunia, seluruh roh manusia terlebih dulu berjumpa dengan Allah, ada sebuah janji yang langsung di ucapkan dihadapan Allah bahwa kelak ketika dia terlahir kedunia akan selalu mengingat-Nya. Dalam perjalanan nya di dunia, kemudian manusia mengikuti adat dan perilaku dimana dia terlahir, kalau lahir dalam lingkungan tidak beriman maka dia menjadi tidak beriman dan lupa kepada Allah.

Karena pada hakikatnya manusia semua bermakrifat kepada Allah sebelum terlahir di dunia, maka diperlukan sebuah usaha yang sungguh-sungguh untuk kembali kepada jati diri nya sebagai manusia yang mengenal Allah, diperlukan bimbingan khusus agar dia bisa kembali berjumpa dengan Allah, bermakrifat kepada Allah. Sebagian mengenal kembali Allah semasa dia hidup, sementara sebagian lain tidak mengenal sama sekali sampai ajal menjemput.

Begitu juga tentang nasib, kaya atau miskin merupakan sebuah pilihan yang diberikan oleh Allah. Saya meyakini Allah menciptakan sebuah system di alam ini dan manusia diberi kebebasan untuk memilih dan pilihannya akan menentukan nasib nya sendiri. Orang yang terlahir dalam keluarga miskin dan tinggal dalam lingkungan miskin, menerima informasi hanya tentang kemiskinan bisa dipastikan dia akan menjalani kehidupan sebagai seorang miskin. Sementara ada yang terlahir sebagai anak orang miskin, kemudian dia hidup dalam lingkungan berbeda bisa jadi karena pendidikan membuat lingkungannya berubah, maka ada yang kemudian menjadi kaya raya bahkan kejadian ini banyak terjadi di dunia.

Tentang takdir ada sebuah kisah menarik yang dikisahkan dari sahabat Abdullah Abbas, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, Umar bin Khattab dan rombongannya, suatu saat berangkat ke negeri Syam (daerah Syiria sekarang). Waktu akan memasuki wilayah itu, para pembesar negeri Syam melaporkan kepada Umar, bahwa daerah itu sedang berjangkit wabah penyakit menular. Umar Ibn Khattab kemudian bermusyawarah dengan para sahabat Muhajirin dan Ansar untuk mencari way out yang baik dari masalah itu. Umar dan rombongan sepakat untuk kembali ke Madinah, tidak memasuki daerah yang berbahaya itu. Tiba-tiba Abu Ubaidah bin Jarrah, salah seorang anggota rombongan tampil dan melontarkan satu pertanyaan kepada Umar:

“Apakah kita hendak lari menghindari takdir Allah?”

Umar menjawab: “Benar, kita menghindari suatu takdir Allah dan menuju takdir Allah yang lain”.

Untuk meyakinkan sahabatnya, Umar memberikan contoh yang sangat tepat. Kata Umar:
“Sekiranya engkau sedang menggembalakan ternakmu, unta atau kambing, kamu dapati ada dua lembah, yang keduanya merupakan takdir Allah. Lembah pertama merupakan padang rumput yang hijau dan subur, sedang lembah kedua merupakan bukit-bukit berbatu yang gersang, tidak ada rumput atau tumbuhan lain. Apakah kamu akan membawa ternakmu ke lembah yang gersang itu? Tentu tidak, tetapi akan membawanya ke lembah yang pertama yang subur itu. Bila anda pergi ke lembah yang subur itu berarti anda mengikuti takdir Allah, demikian pula bila anda menuju lembah yang gersang itu”.

Kalau anda meyakini bahwa takdir Allah tidak bisa diubah maka yang diperlukan bukan mengubah takdir tapi menciptakan takdir baru yang lebih baik dengan cara melakukan ikhtiar sebagaimana telah diwajibkan Allah dengan demikian kehidupan anda akan menjadi lebih baik. Umar Ibn Khattab telah memberikan teladan yang baik tentang menciptakan takdir baru lewat nasehatnya.

Lewat karya kami kami sampaikan rindu kami kepadaMU..

Ingin ku ingat nama ku sendiri, tapi tak bisa…

Telah lama nama ku hilang dalam memori ini, hilang bersama dengan keabadian nama-Mu.

Bagaimana mungkin aku bisa mengingat diri ku sendiri setelah Engkau membunuh ku dengan kasih-Mu?

Aku coba lihat kembali ke dalam diri ini sekali lagi, disana hanya ada diri-Mu saja

Setiap ku sebut nama-Mu, diri tersembunyi itu juga ikut menyebutnya.

Tidak mungkin aku bisa memuja-Mu, Engkau begitu agung untuk terwakilkan lewat kata

Ketika rindu ini datang, aku hanya bisa menangis, menangis mengenang kenangan indah bersama-Mu.

Ingin ku buat sebuah karya abadi agar Engkau bisa ku kenang abadi.

Ketika saatnya tiba nanti, aku sangat yakin akan janji-Mu menjemput ku dengan sebuah senyuman.

Hari-hari tak pernah sepi karena Engkau telah bersemayam abadi di hati.

Akan aku buat karya terbaik, karya yang mewakili rinduku pada-Mu..

Janganlah menjadi gelas..

Seorang guru menghampiri muridnya ketika jam pelajaran selesai. Ada salah seorang murid yang belakangan ini wajah nya selalu murung.

“Kenapa kau selalu murung nak,,? bukankah banyak hal yang indah didunia ini..? Kemana perginya wajah bersyukur mu..” sang guru bertanya.

“Pak dan.. belakangan ini hidupku penuh dengan masalah.. sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habisnya… ” Jawabnya.

Sang guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan 2 genggam garam. Bawalah kemari biar ku perbaiki suasana hatimu..” Simurid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan 2 genggam garam di tangannya.

“Coba ambil segenggam garam dan masukan ke segelas air itu..” Kata sang guru.

“Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.” Simurid pun melakukannya. Wajahnya pun kini meringis karena meminum air asin.

“Bagai mana rasanya.?” Tanya sang guru. “Asin, dan perutku jadi mual,” Jawab simurid dengan wajah yang masih meringis. Sang guru terkekeh – kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan. “Sekarang kau ikut aku..” Sang guru membawa muridnya ke danau didekat tempat mereka.

“Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.” Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin dimulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah dihadapan guru, begitu pikirnya.

“Sekarang kamu coba minum air danau itu..” Kata sang guru sambil menyari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat dipinggir danau. Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau dan membawanya kemulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir ditenggorokannya, sang guru bertanya kepadanya. “Bagai mana rasanya..?”

“Segar, segar sekali..” Kata si murid sambil mengelap mulutnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air diatas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil dibawah. Dan sudah pasti air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa dimulutnya.

“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi..?” “tidak sama sekali” Kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.

“Nak,,” Kata sang guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang kamu alami sepanjang kehidupanmu itu, sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu.

Jumlah tetap, segitu – segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir kedunia pun demikian. Tidak ada satupun manusia, walaupun dia seorang nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”

Si murid terdiam, mendengarkan. “Tapi nak, ‘rasa asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya ‘qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah menjadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau.”

Kesimpulannya.. janganlah berpikiran sempit, karena kita punya 2 mata juga otak untuk berpandangan luas. Pandanglah kedepan seluas – luasnya. Maka, masalah yang anda hadapi akan terasa lebih mudah. (walaupun butuh pengorbanan).
Sekali lagi,, janganlah menjadi Gelas…..

Gaya Hidup Sederhana..

Setiap orang memiliki selera berbeda tentang gaya hidup, ada yang senang dengan kesederhanaan namun banyak yang senang dengan gaya hidup mewah. Gaya hidup merupakan sebuah tampilan, seperti cover sebuah buku, terkadang tidak selalu menggambarkan persis isinya. Ada orang kemampuan finansial nya biasa-biasa saja tapi tampil bergaya mewah menutupi kekurangannya atau memang itu merupakan gaya hidup yang dia pilih sementara ada juga yang memang tergolong kaya raya menjalani gaya hidup mewah, dia menampilkan apa adanya kemakmuran yang dimilikinya. Sementara ada juga orang kaya raya tapi memilih hidup sederhana dan dia merasa nyaman dengan kesederhanaan tersebut tapi ini jenis manusia yang sedikit alias langka.

Di antara yang sedikit itu tersebut nama-nama seperti Azim Premji, seorang muslim asal India. Dia menempati peringkat nomor 61 sebagai individu terkaya sedunia versi Majalah Forbes edisi 2014 dengan kekayaan senilai USD 15 miliar atau sekitar Rp. 150 triliun rupiah. Dengan kekayaan sebesar itu, dia tetap hidup sederhana. Kekayaannya dibuatnya untuk membantu pendidikan siswa miskin. Dia mendirikan yayasan beasiswa dengan nama Azim Premji Foundation yang sejak berdirinya pada tahun 2001 telah membiayai pendidikan lebih dari 2.5 juta siswa di seluruh India.

Di kalangan pemimpin dunia, Mantan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad adalah sosok yang memilih gaya hidup sederhana dan Beliau nyaman dengan kesederhanaan tersebut. Banyak orang penasaran dengan sosok Ahmaddinejad, kenapa pemimpin Negara besar memilih hidup sederhana. Dialog Ahmadinejad dalam sebuah wawancara dengan TV Fox (Amerika Serikat), kiranya dapat menjelaskan mengapa ia hidup begitu sederhana, atau bisa dibilang sangat sederhana untuk seorang pemimpin negara. Wartawan TV Fox bertanya: “Saat Anda melihat ke cermin setiap pagi, apa yang Anda katakan pada diri Anda?” Ahmadinejad menjawab: “Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya. Ingat, kamu tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran .”

Ketika shalat, Anda dapat melihat bahwa ia tidak duduk di baris paling muka. Ia tidak memaksa untuk duduk di baris depan karena ketika datang ke masjid biasanya sudah didahului jamaah lain. Ia duduk di shaf atau tempat yang masih kosong. Katanya, “Tuhan letaknya bukan di depan, tetapi letaknya di Hati”. Ketika suara azan berkumandang dan ia berada jauh dari masjid, ia mengerjakan sholat dimanapun ia berada meskipun hanya beralaskan karpet biasa.

Kita semua mengimpikan sosok pemimpin yang sederhana dimana dengan kesederhanaan tersebut tentu dia lebih fokus mengurus rakyat nya dari pada sibuk untuk dilayani oleh rakyat. Dari buku “Harus Bisa!” karya Dino Pati Djalal saya dapat informasi tentang keserderhanaan presiden Indonesia Bapak SBY, dimana sejak dilantik jadi presiden sampai dengan buku itu di tulis, Beliau tidak pernah mengganti jam tangannya dan ruang kerjanya juga tergolong sederhana untuk ukuran seorang presiden. Walaupun gaya hidup sangat jauh lebih sederhana Ahmaddinejad, akan tetapi kesederhanaan sosok SBY patut juga dijadikan teladan.

Begitu banyak kisah tentang kesederhaan sosok Ahmadinejad, salah satunya tentang cara dia tidur. Saat harus menginap di hotel ia meminta diberikan kamar dengan tempat tidur yang tidak terlalu besar karena ia tidak suka tidur di atas kasur, tetapi lebih suka tidur di lantai beralaskan karpet dan selimut. Itu memang kebiasaannya.ahmad

Ketika Ahmadinejad tidak lagi menjadi seorang Presiden, dia kembali menjadi seorang dosen, ke kampus naik bus umum sebagaimana masyarakat lainnya dan dia menikmati gaya hidup sederhananya. Ahmadinejad konsisten dengan gaya hidup sederhana karena bukan sebuah pencitraan tapi memang dia telah memilih gaya hidup seperti itu, sebuah gaya hidup yang membuat dia lebih memiliki makna.

Saat menulis tulisan ini saya sedang mengingat-ingat kira-kira siapa sosok pemimpin yang menyamai kesederhanaan Ahmadinejad di zaman sekarang, sampai saat ini saya belum menemukan. Kesederhanaan gaya hidup Ahmadinejad tentu tidak terlepas dari sosok yang menjadi idolanya, seorang pemimpin dunia di masa lalu yaitu Nabi Muhammad SAW.

Umar bin Khattab bercerita: Suatu hari seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw untuk meminta-minta, lalu beliau memberinya. Keesokan harinya, laki-laki itu datang lagi, Rasulullah juga memberinya. Keesokan harinya, datang lagi dan kembali meminta, Rasulullah pun memberinya Keesokan harinya, ia datang kembali untuk meminta-minta, Rasulullah lalu bersabda, “Aku tidak mempunyai apa-apa saat ini. Tapi, ambillah yang kau mau dan jadikan sebagai utangku. Kalau aku mempunyai sesuatu kelak, aku yang akan membayarnya.” Umar lalu berkata, “Wahai Rasulullah janganlah memberi diluar batas kemampuanmu.” Rasulullah saw tidak menyukai perkataan Umar tadi. Tiba-tiba, datang seorang laki-laki dari Anshar sambil berkata, “Ya Rasulullah, jangan takut, terus saja berinfak. Jangan khawatir dengan kemiskinan.” Mendengar ucapan laki-laki tadi, Rasulullah tersenyum, lalu beliau berkata kepada Umar, “Ucapan itulah yang diperintahkan oleh Allah kepadaku.” (HR Tirmidzi).

Gaya hidup sederhana adalah pilihan Nabi, bukan karena Beliau tidak memilki kemampuan untuk bergaya hidup mewah tapi karena Beliau lebih senang dengan kesederhanaan. Andai Nabi mau, tidak sulit Beliau bergaya hidup layaknya seorang Raja dengan segala kemewahan karena saat itu Beliau sudah menjadi seorang pemimpin yang besar.

Para sahabat dan generasi setelahnya mengikuti gaya hidup Nabi, walaupun ada diantara mereka tergolong orang yang kaya raya tapi gaya hidup tetap sederhana. Kesederhanaan akan lebih mengingatkan manusia kepada kehambaan, jati diri manusia yang sebenarnya, hal yang sulit dicapai oleh manusia…

Wasyilah cara berjumpa dengan Allah..

Semua manusia di dunia ini meyakini bahwa Tuhan adalah sosok yang Agung, Mulia, Sempurna dan segala gelar hebat di sandang oleh-Nya. Kalau di dunia ada Raja maka Tuhan adalah Maha Raja Diraja. Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Mulia tersebut, sebegitu tingginya sehingga hampir semua manusia merasa mustahil untuk berjumpa denga-Nya. Hanya golongan tertentu saja seperti Nabi yang diizinkan untuk menjumpai-Nya. Bahkan dalam pandangan kelompok tertentu dalam Islam, bahkan Nabi sendiri tidak pernah berjumpa dengan Allah di dunia, dalil tentang pengalaman Musa ingin melihat Tuhan dijadikan dalil untuk membenarkan pendapat mereka. Kelompok Mu’tazilah bahkan lebih ekstrim lagi, mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak bisa dilihat atau dijumpai baik di dunia maupun di akhirat.

Kelompok yang paling banyak adalah yang berpendapat bahwa Allah tidak bisa dilihat atau dijumpai didunia namun Dia bisa dijumpai di akhirat setelah manusia meninggal dunia. Karena banyak bahkan sangat banyak, pada umumnya kita juga meyakini atau dipaksa meyakini bahwa Tuhan tidak mungkin dilihat di dunia dengan alasan Dia Maha Tinggi dan Maha Segalanya.

Disisi lain, kaum Sufi meyakini dan memang mengalami hal yang mustahil bagi kaum awam, yaitu berjumpa, melihat dan berdialog dengan Allah sebagaimana yang diceritakan para Tokoh Sufi dalam berbagai karyanya, salah satu Imam al-Ghazali yang melihat dan berdialog dengan Tuhan di dalam mimpi Beliau.

Pertanyaan yang paling menggoda kita adalah, kenapa ketiga kelompok ini yang sama-sama mengambil sumber ilmu dari Al-Qur’an dan Hadist bisa begitu jauh berselisih paham dan ini telah terjadi dari zaman dulu sampai sekarang. Jawaban normative karena pikiran manusia berbeda-beda dan kemampuan untuk menyerap ilmu dari sumber yang Agung (Al-Qur’an juga berbeda.

Bagi kelompok yang tidak meyakini bahwa Allah bisa di lihat di akhirat, dengan segala dalil menyerang kelompok yang meyakini bahwa Allah bisa dilihat di akhirat. Kaum Mu’tazilah menganggap keliru pemahaman Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang meyakini Allah bisa dilihat di akhirat. Kemudian, orang yang meyakini bahwa Allah hanya bisa dilihat di akhirat menganggap keliru atau aneh bagi orang yang meyakini bahwa Allah bisa dilihat di dunia dan akhirat. Kalau kita terus menerus terjebak kepaa perdebatan tentang Tuhan, maka secara tidak sadar kita tidak pernah mau berusaha untuk menemukan kebenaran lain selain yang kita yakini.

Tuhan Maha Tinggi dan tidak seorangpun yang bisa menjangkat Zat Allah yang Maha tinggi tersebut, dan dalam hal ini kaum sufi yang meyakini bahwa Tuhan bisa dilihat juga berpendapat seperti ini. Tidak berarti bahwa ketika kaum sufi berkesempatan memandang Allah, lalu kedudukan Allah menjadi rendah. Semua manusia memposisikan Tuhan sesuai kadarnya masing-masing makanya dengan segala keyakinannya menampatkan TUhan ditempat yang tdak terjangkau agar kedudukan Tuhan tetap tinggi. Lalu, kalau Tuhan sudah sangat tinggi tidak dapat dijangkau, untuk apa adanya Tuhan?

Tuhan tidak sekedar sesuatu yang disembah, tapi Dia adalah sosok yang akrab dengan kita, tempat kita berkeluh kesah dan sahabat yang paling setia. Nabi Ibrahim menjadi “Khalilullah” Sabahat Allah karena kedekatan Beliau dengan Allah, lalu apakah hanya Ibrahim satu-satunya manusia yang layak menjadi Sahabat Allah? Nabi Muhammad terkenal sebagai “Habibullah” lalu apakah hanya Muhammad satu-satunya manusia yang layak menjadi kekasih Allah? Nabi Musa dikenal dengan “Kalamullah” orang yang diajak berbicara oleh Allah, apakah hanya Nabi Musa yang mengalami seperti itu. Bagaimana dengan kita yang awam, orang-orang yang bukan Nabi, apakah tidak boleh berhubungan dengan Allah dengan akrab?

Kaum sufi yang akrab dengan Tuhan juga tidak merasa dirinya hebat, tidak merasa dirinya suci dan mulia bahkan disetiap saat dengan kesadaran penuh dia merasa sebagai hamba yang hina, dhoif, papa tidak bisa apa, hanya karena kemuarahan hati TUhan saja yang membuat mereka bisa melakukan banyak hal di dunia ini. Kaum Sufi tidak pernah meyakini bahwa TUhan bisa menjadi manusi dan manusia karena kesuciannya bisa menjadi Tuhan, bahwa manusia itu bisa mencapai kedudukan mulia TUhan adalah pendapat diluarorang lain terhadap pemahaman Sufi. Kesalahan dalam memahami Wahdatul Wujud inilah kemudian yang membuat kaum sufi mendapat tuduhdan sebagai kelompok sesat dari orang-orang yang tidak memahaminya.

Kaum Sufi, dari manapun dia berasal dalam berhubungan dengan Allah tetap memakai meode yang diajarkan oleh Rassulullah yaitu lewat Wasilah. Karena tidak mungkin manusia bisa berhubungan dengan Allah tanpa ada unsur atau alat yang diberikan Allah. Dia yang Maha tinggi tidak mungkin dijangkau oleh manusia yang penuh dengan dosa dan kekurangan. Dalam hal ini seluruh manusia mempunyai kayakinan yang sama, termasuk Sufi. Allah yang Maha Pemurah memberikan “Alat Komunikasi” antara manusia dengan Dia yaitu berupa Nur Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Nur tersebut setelah Nabi Muhammad wafat diberikan kepada para ulama pewaris Nabi, dengan itulah manusia bisa berhubungan dengan TUhan. Sebagai alat komunikasi, Wasilah bukanlah ciptaan manusia, bukan pula manusia, tapi dia adalah sesuatu yang berasal dari sisi Allah. Inilah yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai Tali Allah, yang pangkalnya ada pada Allah dan ujungnya ada pada kekasih-Nya. Jangankan Allah yang merupakan Cahaya Maha Tinggi, berhubungan dengan cahaya yang nampak saja harus ada alatnya. Gelombang radio atau televisi ciptaan manusia tidak bisa diterima tanpa adanya alat penerimanya apalagi Cahaya Allah yang begitu Tinggi.

Nabi bukanlah sekedar penyampai wahyu, tapi Beliau adalah pembawa Wasilah yang berasal dari sisi Allah sebagai media penyambug manusia dengan Allah. Hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan langsung, tanpa perantara. Hubungan langsung yang dimaksud tentu saja hubungan dengan menggunakan metode yag tepat, metode yang telah disampaikan dan digunakan oleh Rasulullah SAW. Umumnya hubungan langsung yang diyakini oleh manusia secara umum, dia merasa yakin aja bahwa Tuhan yang disembah itu benar. Mulai dari dia bisa beribadah, dia meyakini yang disembah dalah Allah. Apkah memang demikian? Dari mana dia bisa tahu kalau yang berdiri didepannya itu sosok Iblis yang juga terdiri dari cahaya. Berpuluh-puluh tahun dia meyakini telah menyembah Allah lewat Shalat dan ibadah lainnya, ternyata yang disembah Iblis karena dia tidak bisa membedakan antara Allah dan Iblis. Ibadahnya berupa shalat itu diberi ganjaran Neraka oleh Allah karena yang disembah bukan Allah.

Apakah Iblis tidak bisa masuk kedalam Mesjid? Jangankan dalam mesjid atau rumah kita, kedalam surga pun dia bisa bolak balik, bebas keluar masuk. Jadi, kesmbongan kita menolak wasilah, menyembah Allah dengan metode Rasulullah ini yang menyembabkan kita mudah disusupi setan yang sangat Halus. Ingat, Nabi Adam digoda oleh Iblis bukan di Pasar Malam atau di Mall, tapi di dalam Surga yang dipagari oleh para Malaikat.

Kaum Sufi tidak ragu sedikitpun dia dalam beribadah karena dia sudah bisa membedakan antara Allah dan yang bukan Allah karena dia telah berjumpa dengan Allah. Bagi mereka Allah bukan hanya Maha Gaib (Al-Ghaibi) namun juga Maha Nyata (AD-Dzahir) seperti yang tertulis dalam Asmaul Husna. Bagi orang yang baru menempuh jalan kepada Allah (Thariqatullah), paling tidak dia telah mempunyai pembimbing (Mursyid) yang setiap saat akan menuntun dan membimbing dia kepada Allah secara zahir dan bathin. Godaan dan gangguan secara bathin dengan izin Allah akan mendapat Syafaat ( Bantuan) dari Guru Mursyid yang rohaninya selalu bersama rohani Rasulullah dan otomatis selalu bersama Allah.

Jadi, belum terlambat bagi siapapun kita yang belum menggunakan metode berhubungan dengan Allah berupa Wasilah untuk segera mencari Guru Pembimbing agar ibadahnya menjadi sempurna dan diterima oleh Allah SWT.

Ketiadaan Cahaya Allah..

Seorang profesor atheis berbicara dalam seminar dikampus.
Prof: “Apakah Tuhan menciptakan segala yg ada?”
Mahasiswa semua : “Betul, Dia yg menciptakan semuanya.”
“Tuhan menciptakan semuanya?” tanya prof sekali lagi.
“Ya prof, semuanya,” kata mahasiswa itu.
Prof: “Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan.”
Mahasiswa itu terdiam dan kesulitan menjawab hipotesis profesor tersebut.
Suasana hening dipecahkan oleh suara mahasiswa lainnya, “Prof, boleh saya bertanya sesuatu?”
“Tentu saja,” jawab si Profesor.
Mhs : “Prof, apakah dingin itu ada?”
“Pertanyaan macam apa itu ?
Tentu saja dingin itu ada.”
Mahasiswa itu menyangkal, “Kenyataannya, Prof, dingin itu tdk ada. Menurut hukum fisika, yg kta anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu-460F adalah ketiadaan panas sama sekali & semua partikel menjadi diam & tdk bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas”.
Mahasiswa itu melanjutkan…
“Prof, apakah gelap itu ada ?”
Profesor menjawab, “Tentu saja itu ada.”
Mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi anda salah, Prof. Gelap juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tdk ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bsa menggunakan prisma Newton utk memecahkan cahaya jadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dgn berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia utk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.”
Akhirnya mahasiswa itu bertanya, “Prof, apakah kejahatan itu ada ?”
Dengan bimbang Profesor itu menjawab, “Tentu saja !”
Mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi anda salah, Prof. Kejahatan itu TIDAK ADA. Kejahatan adalah ketiadaan TUHAN di dalam DIRI seseorang. Seperti dingin atau gelap, kejahatan adlh kata yg dipakai manusia utk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan di dalam diri. Tuhan tdk menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tak adanya Tuhan dihati manusia.” Profesor itu terdiam..
Tahukah Anda.. mahasiswa itu adalah: ALBERT EINSTEIN..

Saya tidak tahu persis apakah dialog ini memang pernah terjadi atau hanya semua dialog imajiner dan saya mengutipnya dari Facebook. Menarik bagi saya adalah definisi kejahatan menurut Albert Einstein, dimana kejahatan adalah ketiadaan Tuhan dalam diri seseorang. Ketika manusia tidak mampu menyerap cahaya Ilahi dalam dirinya atau Qalbu nya tidak tertutup untuk menerima cahaya Tuhan, maka kejahatan akan bersemayam dalam jiwanya.

Manusia adalah wadah untuk menampung cahaya Allah dan juga untuk menampung unsur-unsur syetaniyah. Ketika cahaya Allah masuk dalam Qalbu dan menerangi seluruh tubuh manusia, mengisi setiap bagian terkecil dari tubuh, maka manusia tersebut akan naik derajatnya bahkan melebihi derajat malaikat yang juga seluruh tubuhnya tercipta dari cahaya. Kedudukan apa melebihi Malaikat? Yaitu Nabi dan Rasul. Nabi pada hakikatnya adalah cahaya Allah yang berjalan di muka bumi demikian juga seorang Wali Allah dan orang-orang yang telah mencapai derajat keimanan tinggi. Mareka adalah manifestasi cahaya Allah sebagai mana firman Allah, “Telah Aku ciptakan rupa Nur-Ku sebagaimana rupa hamba-Ku”

Manusia tidak akan mampu berkomunikasi dengan Allah kecuali lewat perantaraan wahyu, lalu apa itu wahyu? Hakikat wahyu adalah cahaya Allah, hanya cahaya Allah yang sampai kepada sisi-Nya. Kitab suci yang diturunkan kepada manusia via Nabi tidak lain manifestasi dari wahyu sedangkan hakikat wahyu itu sendiri adalah merupaka cahaya Allah yang tidak berhuruf dan tidak bersuara.

Ketika hati manusia bersih dan bisa menerima cahaya Allah, maka akan terbuka ruang yang langsung kepada Allah SWT, ruang yang disebut sebagai Alam Rabbaniah yang membuat manusia bisa mendengarkan firman-Nya dan berkomunikasi dengan sang pencipta, itulah sebabnya Shalat disebut sebagai Mikraj bagi orang mukmin karena rohaninya akan sampai kepada ruang Alam Rabbani dimana disitu hanya ada Allah SWT.

Salah satu sifat Allah adalah Kalam atau berkata-kata dan sifat itu akan berlaku sepanjang zaman. Allah akan terus berfirman kepada hamba-hamba-Nya dan hanya hamba dengan kualitas tertentu mampu menangkap firman-Nya yang jika terjadi pada seorang Nabi disebut wahyu sedangkan pada selain nabi disebut ilham sebagaimana sabda Nabi “Sesungguhnya dalam umatku ada orang yang dibisiki dan diajak bicara (oleh Allah), dan Umar termasuk di antara mereka.

Ketika cahaya Allah tidak ada maka hati manusia menjadi gelap dan setan akan menggerakkan manusia untuk melakuan semua sesuai dengan skenerionya. Ketika cahaya Allah tidak masuk ke dalam hati manusia, maka akan tertutup dialog antara manusia dengan Allah. Andai pun si hamba beribadah, maka ibadahnya hanya gerak-gerak zahiriyah semata.

Kisah Syeh Abdul Qhodir Jaelani Belajar dengan Tukang sol Sepatu..

Suatu malam disaat orang sedang terlelap, Syekh Abdul Wahab Rokan yang saat itu masih muda dan sedang berguru kepada Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabbal Qubis Makkah sedang membersihkan kamar mandi Gurunya menggunakan kedua tangannya tanpa merasa jijik dan melakukan dengan penuh ikhlas. Di saat Beliau melakukan tersebut, tiba-tiba Guru Syekh Sulaiman Zuhdi lewat dan berkata, “Kelak tanganmu akan di cium raja-raja dunia”. Ucapan Gurunya itu dikemudian hari terbukti dengan banyak raja yang menjadi murid Beliau dan mencium tangan Beliau salah satunya adalah Sultan Musa al-Muazzamsyah, Raja di Kerajaan Langkat, Sumatera Utara.

Kisah berguru dalam ilmu hakikat mempunyai keunikan tersendiri, seperti kisah Sunan Kalijaga yang menjaga tongkat Gurunya dalam waktu lama, dengan itu Beliau lulus menjadi seorang murid. Berikut kisah Ulama Besar Imam Al-Ghazali memperoleh pencerahan bathin bertemu dengan pembimbing rohaninya, kisah ini saya di kutip dari Buku Tuntunan Mencapai Hidayah Ilahi..

Imam Ghazali seorang Ulama besar dalam sejarah Islam, hujjatul islam yang banyak hafal hadist  Nabi SAW. Beliau dikenal pula sebagai ahli dalam filsafat dan tasawuf  yang banyak mengarang kitab-kitab.

Suatu ketika Imam Al Ghazali menjadi imam disebuah masjid . Tetapi saudaranya yang bernama Ahmad tidak mau berjamaah bersama Imam Al Ghazali lalu berkata kepadanya ibunya :

Wahai ibu, perintahkan saudaraku Ahmad agar shalat mengikutiku, supaya orang-orang tidak menuduhku selalu bersikap jelek terhadapnya“.

Ibu Al Ghazali lalu memerintahkan puteranya Ahmad agar shalat makmum kepada saudaranya Al Ghazali. Ahmad pun melaksanakan perintah sang ibu, shalat bermakmum kepada Al Ghazali.Namun ditengah-tengah shalat, Ahmad melihat darah membasah perut Imam. Tentu saja Ahmad memisahkan diri.

Seusai shalat Imam Al Ghazali bertanya kepada Ahmad, saudaranya itu : “Mengapa engkau memisahkan diri (muffaragah) dalam shalat yang saya imami ? “.  Saudaranya menjawab : “Aku memisahkan diri, karena aku melihat perutmu berlumuran darah “.

Mendengar jawaban saudaranya itu, Imam Ali Ghazali mengakui, hal itu mungkin karena dia ketika shalat hatinya sedang mengangan-angan masalah fiqih yang berhubungan haid seorang wanita yang mutahayyirah.

Al Ghazali lalu bertanya kepada saudara : “Dari manakah engkau belajar ilmu pengetahuan seperti itu ?” Saudaranya menjawab, “Aku belajar Ilmu kepada Syekh Al Utaqy AL-Khurazy yaitu seorang tukang jahit sandal-sandal bekas (tukang sol sepatu) . ” Al Ghazali lalu pergi kepadanya.

Setelah berjumpa, Ia berkata kepada Syekh Al khurazy : “Saya ingin belajar kepada Tuan “. Syekh itu berkata : Mungkin saja engkau tidak kuat menuruti perintah-perintahku “.

Al Ghazali menjawab : “Insya Allah, saya kuat “.

Syekh Al Khurazy berkata : “Bersihkanlah  lantai ini “.

Al Ghazali kemudian hendak dengan sapu. Tetapi Syekh itu berkata : “Sapulah (bersihkanlah) dengan tanganmu“. Al Ghazali menyapunya lantai dengan tangannya, kemudian dia melihat kotoran yang banyak dan bermaksud menghindari kotoran itu.

Namun Syekh berkata : “Bersihkan pula kotoran itu dengan tanganmu“.

Al Ghazali lalu bersiap membesihkan dengan menyisingkan pakaiannya. Melihat keadaan yang demikian itu Syekh berkata : “Nah bersìhkan kotoran itu dengan pakaian seperti itu” .

Al Ghazali menuruti perintah Syekh Al Khurazy dengan  ridha dan tulus.

Namun ketika Al Ghazali hendak akan mulai melaksanakan perintah Syekh tersebut, Syekh langsung mencegahnya dan memerintahkan agar pulang.

Al Ghazali pulang dan setibanya di rumah beliau merasakan mendapat ilmu pengetahuan luar biasa. Dan Allah telah memberikan Ilmu Laduni atau ilmu Kasyaf yang diperoleh dari tasawuf atau kebersihan qalbu kepadanya.

Makna Syariat Hakikat dan Makrifat menjadi satu..

Saya seringkali dapat pertanyaan lewat email tentang hubungan antara syariat dan hakikat. Pada kesempatan ini saya ingin sedikit membahas hubungan yang sangat erat antara keduanya. Syariat bisa diibaratkan sebagai jasmani/badan tempat ruh berada sementara hakikat ibarat ruh yang menggerakkan badan, keduanya sangat berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan. Badan memerlukan ruh untuk hidup sementara ruh memerlukan badan agar memiliki wadah.

Saidi Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi guru Mursyid dari Ayahanda Prof. Dr. Saidi Syekh Kadirun Yahya MA. M.Sc mengibaratkan syariat laksana baju sedangkan hakikat ibarat badan. Dalam beberapa pantun yang Beliau ciptakan tersirat pesan-pesan tentang pentingnya merawat tubuh sebagai perhatian utama sedangkan merawat baju juga tidak boleh dilupakan.

Imam Malik mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Ada adagium cukup terkenal, “Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan, sedang syariat tanpa hakikat adalah sia-sia.” Imam Malik berkata, “Barangsiapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedang yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik.Barangsiapa menghimpun keduanya [syariat dan hakikat], ia benar-benar telah berhakikat.”

Syariat adalah hukum-hukum atau aturan-aturan dari Allah yang disampaikan oleh Nabi untuk dijadikan pedoman kepada manusia, baik aturan ibadah maupun yang lainnya. Apa yang tertulis dalam Al-Qur’an hanya berupa pokok ajaran dan bersifat universal, karenanya Nabi yang merupakan orang paling dekat dengan Allah dan paling memahami Al-Qur’an menjelaskan aturan pokok tersebut lewat ucapan dan tindakan Beliau, para sahabat menjadikan sebagai pedoman kedua yang dikenal sebagai hadist. Ucapan Nabi bernilai tinggi dan masih sarat dengan simbol-simbol yang memerlukan keahlian untuk menafsirkannya.

Para sahabat sebagai orang-orang pilihan yang dekat dengan nabi merupakan orang yang paling memahami nabi, mereka paling mengerti akan ucapan Nabi karena memang hidup sezaman dengan nabi. Penafsiran dari para sahabat itulah kemudian diterjemahkan dalam bentuk hukum-hukum oleh generasi selanjutnya. Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi melakukan ijtihad, menggali sumber utama hukum Islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan zaman saat itu, maka lahirlah cabang-cabang ilmu yang digunakan sampai generasi sekarang. Sumber hukum Islam itu kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu : Al-Qur’an, Hadist, Ijmak dan Qiyas, itulah yang kita kenal dengan syariat Islam.

Untuk melaksanakan Syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah memerintahkan kita untuk shalat, kemudian Nabi melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi mengatakan, “Shalatlah kalian seperti aku shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh ummat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi. Akan tetapi, dalam rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap makrifat dimana hamba bisa memandang wajah Allah SWT.

Ketika memulai shalat dengan “Wajjahtu waj-hiya lillaa-dzii fatharas-samaawaati wal-ardho haniifam-muslimaw- wamaa ana minal-musy-rikiin..” Kuhadapkan wajahku kepada wajah-Nya Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik. Seharusnya seorang hamba sudah menemukan chanel atau gelombang kepada Tuhan, menemukan wajahnya yang Maha Agung, sehingga kita tidak termasuk orang musyrik menyekutukan Tuhan. Kita dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa sadar kita hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat wajah-wajah lain selain Dia. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan di awal shalat maka ketika sampai kepada bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya.

Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada Allah yang kemudian disebut dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan zikir. Nama Tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Munculnya perkumpulan Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib kw, “Kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.

Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.

Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat, seharusnya disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik dunia akhirat, Tuhan seru sekalian alam, tapi yang terjadi yang dijumpai disana hanya berupa dinding dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah itu adalah proses menunggu, menunggu Dia yang dirindui oleh sekalian hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu tak pernah muncul.

Disini sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar yaitu Tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan bahkan sebagian orang bodoh menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud disana bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau diluar shalat tidak di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah? dan bagaimana mungkin seorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al ‘Ala, “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan shalat”.

Kesimpulan dari tulisan singkat ini bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan antara ke empat ilmu yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat, ke empatnya adalah SATU. Iman dan Islam bisa dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu Tarekat. Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas bahwa ke empat ilmu tersebut tidak terpisah tapi SATU.

Tulisan ini saya tulis dalam perjalanan ziarah ke Maqam Guru saya tercinta, teringat pesan-pesan Beliau akan pentingnya ilmu Tarekat sebagai penyempurnaan Syariat agar mencapai Hakikat dan Makrifat. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi renungan dan memberikan manfaat untuk kita semua. Amin!