Menciptakan Takdir..

Menarik memang untuk di kaji tentang Takdir, ketetapan Allah atas segala sesuatu terutama menyangkut dengan nasib manusia, apakah Allah telah menentukan segala sesuatu dari awal tanpa bisa di ubah sama sekali atau Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan nasibnya sendiri berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Dalam sejarah, Takdir menjadi perdebatan panjang yang tidak selesai sampai sekarang dan mungkin sampai kapan pun. Tentang Takdir ada 3 pendapat berbeda dari masing-masing kelompok besar yakni :

Menurut konsep Asy’ariyah (Sunni): semua sudah ditentukan Allah, tidak adafreewill (keinginan atau kehendak bebas). Asy’ariyah meyakini konsep ‘Jabbariah‘ (semacam keterpaksaan), yakni bahwa perbuatan manusia adalah kehendak Tuhan. Seorang teman menganalogikan ini seperti wayang yang tergantung pada keinginan dalang. Menurut Asy’ariah: Qadha dan Qadr itu mutlak (100 prosen) merupakan ketetapan Allah, termasuk yang baik (khair) dan yang buruk (syar).

Mu’tazilah meyakini semuanya adalah murni seratus prosen kehendak bebas (freewill)manusia, dan tidak ada campur tangan Allah. Mu’tazilah percaya pada konsep ‘Qadariyah‘. (Qadara = kemampuan). Mereka meyakini perbuatan manusia adalah perbuatannya semata, tanpa campur tangan kekuatan Allah. Bagi Mu’tazilahQadha dan Qadr itu 100 prosen adalah hasil ikhtiar manusia sendiri.

Sedangkan Syi’ah meyakini bahwa kehendak Allah di atas kehendak manusia. Artinya Allah berkehendak apabila manusia menghendakinya. Konsep Syiah Ja’fari/ Itsna’asarriah dalam hal ini berada di tengah, antara kedua yang di atas — Tafwid bayna asy’ari wa mu’tazili (Tidak Asy’ari dan Tidak Mu’tazili, melainkan di antara keduanya). Syiah berpendapat bahwa Qadha dan Qadr merupakan ketetapan Allah berdasarkan hasil ikhtiar manusia..Artinya, Allah menetapkan hukum-hukum dan manusia memiliki freewill untuk memilih, tetapi Allah memiliki pengetahuan tentang apa yang akan terjadi. (syafiqb.com)

Saya tidak membahas secara rinci tentang 3 pendapat ini karena masing-masing mempunyai dalil yang kuat untuk mendukung pendapatnya. Bagi kalangan sunni pada umumnya yang meyakini bahwa segala sesuatu telah ditetapkan Allah dan manusia tidak mempunyai pilihan sama sekali tentu tidak akan menerima pendapat dari kalangan muktazilah yang meyakini manusia berperan 100 persen dalam menentukan nasibnya.

Sebagaimana yang kita ketahui, manusia terlahir ke dunia dalam keadaan fitrah (suci), tanpa dosa, orang tua nya ikut berperan menentukan akan menjadi seperti apa anak tersebut, baik atau buruk, beriman atau kafir, termasuk lingkungan dimana dia tinggal. Seorang anak yang terlahir dalam suku terpencil dan terbelakang tanpa mengenal budaya dan agama, tidak pernah mendapat informasi tentang kebenaran, sudah bisa dipastikan anak tersebut kelak akan mengikuti keyakinan orang tua nya, mengikuti tradisi yang dia kenal, lalu apakah takdirnya memang menjadi orang tersesat? Padahal manusia ditakdirkan Allah seluruhnya lahir dalam kondisi suci.

Manusia juga secara keseluruhan pada hakikatnya berada dalam kondisi makrifat (mengenal Allah) jauh sebelum lahir ke dunia, seluruh roh manusia terlebih dulu berjumpa dengan Allah, ada sebuah janji yang langsung di ucapkan dihadapan Allah bahwa kelak ketika dia terlahir kedunia akan selalu mengingat-Nya. Dalam perjalanan nya di dunia, kemudian manusia mengikuti adat dan perilaku dimana dia terlahir, kalau lahir dalam lingkungan tidak beriman maka dia menjadi tidak beriman dan lupa kepada Allah.

Karena pada hakikatnya manusia semua bermakrifat kepada Allah sebelum terlahir di dunia, maka diperlukan sebuah usaha yang sungguh-sungguh untuk kembali kepada jati diri nya sebagai manusia yang mengenal Allah, diperlukan bimbingan khusus agar dia bisa kembali berjumpa dengan Allah, bermakrifat kepada Allah. Sebagian mengenal kembali Allah semasa dia hidup, sementara sebagian lain tidak mengenal sama sekali sampai ajal menjemput.

Begitu juga tentang nasib, kaya atau miskin merupakan sebuah pilihan yang diberikan oleh Allah. Saya meyakini Allah menciptakan sebuah system di alam ini dan manusia diberi kebebasan untuk memilih dan pilihannya akan menentukan nasib nya sendiri. Orang yang terlahir dalam keluarga miskin dan tinggal dalam lingkungan miskin, menerima informasi hanya tentang kemiskinan bisa dipastikan dia akan menjalani kehidupan sebagai seorang miskin. Sementara ada yang terlahir sebagai anak orang miskin, kemudian dia hidup dalam lingkungan berbeda bisa jadi karena pendidikan membuat lingkungannya berubah, maka ada yang kemudian menjadi kaya raya bahkan kejadian ini banyak terjadi di dunia.

Tentang takdir ada sebuah kisah menarik yang dikisahkan dari sahabat Abdullah Abbas, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, Umar bin Khattab dan rombongannya, suatu saat berangkat ke negeri Syam (daerah Syiria sekarang). Waktu akan memasuki wilayah itu, para pembesar negeri Syam melaporkan kepada Umar, bahwa daerah itu sedang berjangkit wabah penyakit menular. Umar Ibn Khattab kemudian bermusyawarah dengan para sahabat Muhajirin dan Ansar untuk mencari way out yang baik dari masalah itu. Umar dan rombongan sepakat untuk kembali ke Madinah, tidak memasuki daerah yang berbahaya itu. Tiba-tiba Abu Ubaidah bin Jarrah, salah seorang anggota rombongan tampil dan melontarkan satu pertanyaan kepada Umar:

“Apakah kita hendak lari menghindari takdir Allah?”

Umar menjawab: “Benar, kita menghindari suatu takdir Allah dan menuju takdir Allah yang lain”.

Untuk meyakinkan sahabatnya, Umar memberikan contoh yang sangat tepat. Kata Umar:
“Sekiranya engkau sedang menggembalakan ternakmu, unta atau kambing, kamu dapati ada dua lembah, yang keduanya merupakan takdir Allah. Lembah pertama merupakan padang rumput yang hijau dan subur, sedang lembah kedua merupakan bukit-bukit berbatu yang gersang, tidak ada rumput atau tumbuhan lain. Apakah kamu akan membawa ternakmu ke lembah yang gersang itu? Tentu tidak, tetapi akan membawanya ke lembah yang pertama yang subur itu. Bila anda pergi ke lembah yang subur itu berarti anda mengikuti takdir Allah, demikian pula bila anda menuju lembah yang gersang itu”.

Kalau anda meyakini bahwa takdir Allah tidak bisa diubah maka yang diperlukan bukan mengubah takdir tapi menciptakan takdir baru yang lebih baik dengan cara melakukan ikhtiar sebagaimana telah diwajibkan Allah dengan demikian kehidupan anda akan menjadi lebih baik. Umar Ibn Khattab telah memberikan teladan yang baik tentang menciptakan takdir baru lewat nasehatnya.

Tinggalkan komentar