Sebuah Renungan Akhir Tahun…

Seorang pejabat keluar dari sebuah hotel mewah.
Ia baru saja menyelenggarakan seminar dan
malam amal untuk mencari dana bagi anak-anak
miskin yang berkeliaran di jalan. Ketika akan
masuk ke mobil mewahnya, seorang anak jalanan
mendekatinya dan merengek, ”Pak, minta uang
sekadarnya. Sudah dua hari saya tidak makan.”
Pejabat itu terkejut dan melompat menjauhi anak
itu. ”Dasar anak keparat yang tak tahu diri!”
teriaknya. ”Tak tahukah kamu bahwa sepanjang
hari saya sudah bekerja sangat keras untukmu?
Pembaca yang budiman, kalau Anda ingin
melakukan renungan di penghujung tahun ini,
saya anjurkan Anda untuk merenungkan satu hal
saja: ”Seberapa besar tingkat kepedulian Anda
kepada sesama?” Dari skala 1 (sangat buruk)
sampai dengan 5 (sangat baik), dimanakah posisi
Anda? Jawabannya tak perlu Anda kemukakan,
tapi cukup disimpan untuk diri Anda sendiri.
Mengapa saya menganjurkan Anda melakukan hal
ini? Ini tak lain untuk kepentingan diri Anda
sendiri. Selama Anda masih berkutat dengan diri
sendiri, selama itu pula jiwa Anda tak akan pernah
tumbuh. Kita hanya akan mengalami transformasi
yang luar biasa begitu kita mulai memikirkan
orang lain. Seorang pengarang, Joseph Campbell,
mengatakan, ”Pada saat kita berhenti berpikir
tentang diri kita sendiri, kita sebenarnya tengah
mengalami perubahan hati nurani yang sungguh
heroik.”
Hal ini mudah diucapkan tetapi amat sulit
dilakukan. Para politisi kita amat royal
melontarkan kata-kata ”demi kepentingan rakyat.”
Seorang pejabat yang mengaku paling dekat
dengan wong cilik kenyataannya malah menyakiti
hati rakyat dengan tanpa malu-malu
menghadiahkan dirinya sendiri rumah senilai 20
miliar. Para politisi lain juga tanpa malu -malu
berlomba-lomba meluncurkan buku biografi
politik yang dipenuhi kata-kata ”demi kepentingan
rakyat.” Buku-buku biografi semacam ini
sebenarnya merupakan ”pelecehan intelektual”
belaka. Kenyataannya, amat sulit bagi kita
menemukan kontribusi mereka bagi orang banyak.
Memikirkan orang lain memang sangat sulit
dilakukan, apalagi di zaman sekarang. Setiap hari
kita disibukkan dengan pekerjaan yang tak habis-
habisnya. Namun sekadar memperhatikan diri
Anda sendiri akan menghasilkan kesulitan yang
cukup serius dalam jangka panjang. Anda akan
mengalami hambatan dalam pertumbuhan
spiritual Anda. Banyak orang yang beranggapan
bahwa hal ini adalah kewajiban. Mereka salah
besar! Memperhatikan orang lain adalah
kebutuhan Anda untuk menikmati hidup yang
penuh makna. Memperhatikan orang lain adalah
cara terbaik untuk mencapai hakikat kemanusiaan
yang sejati.
Seorang filsuf terkemuka pernah mengatakan,
”Manusia dilahirkan dalam kondisi telanjang, dan
ketika meninggal ia dibungkus kain kafan. Apakah
hanya itu keuntungan yang ia dapatkan sepanjang
hidupnya?” Sayangnya dunia kita sekarang telah
begitu materialistisnya, sehingga banyak orang
beranggapan bahwa perhatian tersebut bisa
digantikan dengan uang. Padahal walaupun uang
memang penting, ia tak akan pernah dapat
menggantikan perhatian, pengertian, kehadiran
dan kasih sayang.
Betapa banyak contoh yang bisa kita ambil dari
kehidupan kita sehari-hari. Banyak anak yang
tumbuh tanpa perhatian yang semestinya dari
orang tua mereka. Banyak orang tua yang berdalih
bahwa quality time jauh lebih penting ketimbang
quantity time. Padahal, kasih sayang dan
pengertian hanya akan terbina melalui proses
yang perlahan-lahan dan membutuhkan banyak
waktu. Betapa banyak para profesional yang cukup
puas dengan memberikan sejumlah uang kepada
orang tua mereka tanpa pernah mau tahu
mengenai keadaan mereka yang sesungguhnya.
Orang-orang seperti ini telah salah kaprah dalam
memahami hidup seolah-olah segala sesuatunya
bisa dibeli dengan uang.
Kahlil Gibran pernah mengatakan, ”Bila engkau
memberi dari hartamu, tiada banyaklah pemberian
itu. Bila engkau memberi dari dirimu itulah
pemberian yang penuh arti.” Memberi tidak harus
bernuansa materi. Bahkan memberikan perhatian
sebenarnya jauh lebih berarti ketimbang
memberikan materi yang sifatnya amat terbatas.
Cara menunjukkan kepedulian kita adalah dengan
mendengarkan. Seorang anak pernah
mengungkapkannya dengan sangat baik, ”Di masa
pertumbuhanku, ayahku selalu menghentikan apa
yang sedang dia kerjakan dan mendengarkanku
saat aku begitu bersemangat menceritakan apa
yang telah aku alami seharian.” Mendengarkan
dengan benar adalah melupakan diri sendiri dan
memberikan perhatian lahir dan batin yang tulus.
Dengan mendengarkan kita dapat menangkap
bukan hanya apa yang dikatakan tetapi juga apa
yang dirasakan.
Mendengarkan amat penting untuk bisa
memberikan sesuatu yang benar-benar dibutuhkan
orang lain, bahkan sekalipun mereka tidak
mengatakannya. Kahlil Gibran pernah
mengatakan, ”Adalah baik untuk memberi ketika
diminta, tapi jauh lebih baik lagi jika memberi
tanpa harus diminta.”

Tinggalkan komentar