Sebuah Renungan Akhir Tahun…

Waktu adalah sesuatu yang tak terbendung, ia
akan terus bergerak sekalipun kita telah lelah
untuk beranjak dari tempat kita berdiri, ia akan
terus melangkah ke depan sekalipun kita telah
kehilangan semangat dalam mengarungi
kehidupan ini.
Tapi inilah realitas dari kehidupan, ketika kita
merasa telah berjuang begitu keras, ternyata masih
banyak kerikil tajam yang masih mengganjal di
setiap langkah kita, ketika kita telah berupaya,
masih ada kegagalan yang menghampiri kita,
masih ada tangis yang mengiringi jalan kita, masih
banyak hal yang tidak sesuai dengan harapan kita,
apalagi ketika kita memasuki tahun-tahun penuh
tantangan seperti ini.
Di keluarga, ketika kita didudukan sebagai anak,
kita merasa kurang mendapat perhatian dari orang
tua, dan sebaliknya sebagai orang tua, kita merasa
anak zaman sekarang sangat sulit dididik,
walaupun kita telah berupaya melakukan yang
terbaik untuknya, lalu ketika usia kita beranjak
senja, sebagai kakek dan nenek, kita merasa
ditinggalkan dan terabaikan, kita kesepian.
Di pekerjaan, ketika kita didudukan sebagai
karyawan, kita merasa tenaga kita telah diperas
habis oleh perusahaan dan sebaliknya sebagai
pemilik perusahaan, kita merasa karyawan kita
kurang berdedikasi dan tidak bertanggungjawab,
dan hanya pintar menuntut. Dan ketika hal itu
terjadi pada diri kita, ketika kita dibenturkan
dengan masalah-masalah tersebut, kita merasa
sebagai makhluk yang paling malang, sebagai
insan yang paling menderita di dunia. Kita pun
segera bertanya-tanya, mengapa alam begitu tidak
adil, mengapa kita harus terlahir menanggung
derita-derita yang berkepanjangan ini?
Ketika rentetan peristiwa datang bertubi-tubi dan
pertanyaan itu tak terjawabkan, kita dilanda rasa
frustasi yang teramat sangat, kita merasa begitu
lelah, kita merasa terabaikan, tubuh kita seakan
mati rasa, denyut nadi kita berhenti sesaat, kita
segera terjebak dalam ruang gelap yang tidak
pernah kita tahu kapan berakhirnya. Lalu,
sebelum semuanya semakin kelam, mari kita buka
mata dan hati kita, mari kita manfaatkan waktu
ini untuk merenung, menelaah dan mencari
pencerahan dari cerita kecil ini, sang tukang kayu
dalam kisah ini mungkin akan membangunkan
hati kita.
***********
Dikisahkan, seorang tukang kayu yang telah
kelelahan berkarya ingin segera menjalani
kehidupan pensiunnya, sejak awal dia adalah
tukang kayu yang berbakat, tukang kayu yang
berdedikasi tinggi atas pekerjaannya, tukang kayu
yang bertanggung jawab penuh. Ketika ia
menyampaikan keinginannya kepada Sang Tuan,
ia malah diberi tugas terakhir sebelum pensiun,
sang Tuan ingin ia membuat sebuah rumah megah
untuknya.
Tukang kayu yang berbakat itu tiba-tiba berubah,
ia menjadi tukang kayu yang sembrono, tukang
kayu yang asal-asalan. Pukulan palu yang
harusnya ia ayunkan tiga kali, hanya ia ayunkan
satu kali, itu pun ia lakukan dengan tidak sepenuh
hati. Dengan terpaksa ia menyelesaikan tugas
terakhirnya, ia merasa Sang Tuan tidak lagi
berpihak padanya, ia sungguh kecewa. Dan
kekecewaannya ia lampiaskan pada pekerjaanya.
Sebuah “Rumah Mewah” yang jauh dari arti
“Mewah” akhirnya selesai tepat waktu. Ketika hari
pensiun tiba, sang tukang kayu akhirnya mendapat
sebuah amplop yang berisi sejumlah uang pensiun
dan sebuah “KUNCI” rumah. Ketika ia
menerimanya segera ia tersadar, ternyata kunci
yang digenggamnya adalah kunci dari “Rumah
Mewah” yang baru selesai dibangunnya. “Hadiah
special ini dipersembahkan padamu, karena
kerjamu yang luar biasa dan berdedikasi selama
bekerja di sini.” Kata Sang Tuan. Lalu, sang tukang
kayu hanya mampu melihat kunci rumah itu
dengan “PENYESALAN”.
**********
Bukankah kita seperti tukang kayu ini, kita
kadang-kadang lupa bahwa kita adalah pembuat
rumah untuk diri kita sendiri. Ketika kita
membangun rumah masa depan kita dengan
sembrono, kita akan mendapatkan rumah yang
mungkin kita tidak sukai, tapi itulah rumah yang
harus kita tempati, rumah yang kita bangun
dengan ayunan tangan kita. Kita boleh merasa
kecewa ketika kita mendapati kenyataan bahwa
rumah kita tidak seindah yang kita impikan,
bahkan reot.
Kita boleh merasa kecewa ketika kita harus melalui
kehidupan yang tidak menyenangkan, tapi inilah
realitas hidup, sedih yang berkepanjangan tidak
akan mengubah rumah yang telah kita bangun
dengan tangan kita sendiri, oleh karma yang telah
kita tanamkan.
Lalu, mari kita kembali pada kehidupan kita yang
keras, yang penuh tantangan, ketika segalanya
berubah menjadi kacau dan tidak terkendali,
ketika kita begitu frustasi. Saat ini, kita masih
diberi waktu untuk mengubah rumah masa depan
kita, kita masih diberi waktu untuk memperindah
setiap sudut ruangan hati kita. Mari kita kembali
renungkan apa yang telah kita perbuat selama ini,
bagaimana kita membangun rumah kita, seberapa
baik kita telah membangun masa depan kita?
Disadari atau tidak, kita dapat membangun rumah
kecil kita melalui hal-hal sederhana, kita dapat
membangunnya melalui pelukan kita pada Ibu,
melalui secangkir kopi yang kita sajikan pada
Ayah, melalui kecupan selamat pagi untuk
pasangan kita, atau melalui aluran tangan kita
untuk menuntun bocah-bocah kecil kita.
Beban berat yang kita pikul akan menjadi lebih
ringan, karena tangan-tangan kasih dari ayah
bunda, saudara, kerabat dan teman akan
membantu kita melaluinya. Dan kita pun akan
menjadi kokoh. Melalui kesempatan ini, ketika kita
masih ada waktu, selama kita masih diberi
kesempatan untuk berbagi kasih sayang, mari kita
lakukan hal-hal sederhana itu sekali lagi. Mari
peluk Ibu yang di samping kita dan nyatakanlah
cinta kita, mari kita kecup kening bocah kecil kita,
mari kita genggam tangan pasangan kita dengan
mesra, mari kita berjabat tangan dengan teman
kita dan katakan betapa kita menghargai
persahabatan itu dan mari kita maafkan mereka
yang pernah menyakiti kita.
Semoga hari ini, lebih baik dari hari kemarin

Tinggalkan komentar