Dampak Kehadiran PAUD di Tengah Tengah Masyarakat Menengah ke Bawah

image

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat penting untuk kelanjutan pendidikan anak-anak, karena keberhasilan PAUD akan membawa dampak positif bagi anak untuk mengikuti pendidikan selanjutnya.

Keberhasilan PAUD akan membawa dampak positif bagi anak untuk mengikuti pendidikan selanjutnya, yaitu pendidikan dasar dan menengah serta memutus rantai munculnya buta aksara dan menuntaskan wajib belajar sembilan tahun. walaupun tidak dikatakan sebagai jenjang pendidikan, namun PAUD secara tingkatan memiliki kedudukan yang sama dengan jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Hal ini tersirat dalam Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi : pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum pendidikan dasar. Hal ini berarti bahwa secara hukum kedudukan PAUD saat ini sangat kuat dengan dimuatnya ke dalam Undang undang Sisitim Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Selanjutnya Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) dengan tegas telah mengatur pelaksanaan PAUD, sebagaimana tertuang dalam pasal 28 UU tersebut. Di samping itu, saat ini telah terbit peraturan yang mengatur tentang pendidikan anak usia dini baik formal maupun nonformal dan informal, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) RI nomor 58 tahun 2009. Di dalam Permendiknas tersebut secara jelas mengatur mengenai standar pendidikan anak usia dini, sehingga mulai 2010 pelaksanaan pendidikan formal, nonformal dan informal harus mengacu kepada Permendiknas tersebut, bahkan dalam UU Sisdiknas, PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia enam tahun, yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan atau stimulasi. Pemberian stimulasi pendidikan pada anak usia sekolah dasar dan menengah tidak akan berarti, bila pada usia dini tidak diberikan stimulasi yang optimal.

Pemerintah dihadapkan pada berbagai permasalahan dalam memberikan layanan PAUD di tengah- tengah masyarakat. Hal ini disebabkan terutama berbagai hal berikut. Pertama, masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap arti penting. PAUD bagi perkembangan masa depan anak selanjutnya. Kedua, kurangnya sumber daya manusia yang profesional di daerah-daerah yang secara operasional dan khusus menangani pembinaan PAUD. Ketiga, masih kurangnya tenaga kependidikan PAUD di lapangan. Sebagai guru yang profesional dan mempunyai keahlian di bidang PAUD, Anda diharapkan dapat membantu pelaksanaan program ini di daerah di mana Anda mengajar dan tinggal. Keempat, adalah masalah geografis yang harus dilayani sulit dijangkau dan luasnya wilayah daerah merupakan penyebab utama. Kelima kurangnya lembaga pendidikan yang berminat menyelenggarakan PAUD. Oleh karena itulah perlu diciptakan atau dikembangkan model-model yang disesuaikan dengan daerah tertentu dan yang terstandar, agar memudahkan masyarakat untuk menyelenggarakan PAUD.

Program PAUD yang diperlukan saat ini, hendaknya memperhatikan beberapa komponen seperti, siapa pengelolanya, isi paket, alat bantu, sasarannya, usia yang dilayani, jam belajar, jumlah peserta dan siapa yang bertanggung jawab terhadap program ini. Isi paket sebaiknya memperhatikan kesehatan anak, gizi dan psikososial secara komprehensif. Kaitan antara permasalahan yang ditemui dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dari profil layanan PAUD dalam masyarakat dan lembaga yang terkait dengan PAUD.

Mengatasi Kendala Pendidikan Anak Usia Dini

Dalam konteks mempersiapkan generasi penerus berkualitas pendidikan anak usia dini (PAUD) memegang peranan amat penting. Di Indonesia pendidikan anak usia mulai mendapatkan perhatian pemerintah. Tak mengherankan jika dari sekitar 28 juta anak usia 0-6 tahun baru 73% atau sekitar 20,4 juta belum mengenyam pendidikan usia dini. Sisanya atau sekitar 7,5 juta anak sudah memperoleh pendidikan usia dini, antara lain berupa membaca dan berhitung. Sebagian kecil di antaranya ditangani di lembaga formal, yakni taman kanak-kanak (TK), kelompok bermain (play group), dan sederajat. Sebagian yang lain memperoleh pendidikan usia dini di lembaga-lembaga nonformal, yakni tempat penitipan anak (TPA), bina keluarga balita, dan sejenisnya.

Tahun ini Departemen Pendidikan Nasional menargetkan peningkatan jumlah anak yang memperoleh pendidikan usia dini sebesar 12,5% atau menjadi 11 juta anak dan 2009 menjadi 17,3 juta anak. Usia dini yang lazim diartikan pada kisaran 0-6 tahun memang merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan pengembangan intelegensi seorang anak. Sudah banyak penelitian yang membuktikan pada usia tersebut anak-anak memiliki tingkat intelegensi atau kecerdasan paling optimal.

Tujuan utama pendidikan usia dini adalah memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak sejak awal yang meliputi aspek fisik, psikis, dan sosial secara menyeluruh. Dengan begitu anak diharapkan lebih siap untuk belajar lebih lanjut. Bukan hanya belajar secara akademik di sekolah, melainkan juga sosial, emosional, dan moral di semua lingkungan.
Pengesahan RUU Sistem Pendidikan Nasional menjadi UU pada 11 Juni 2003 memberi peluang bagi perkembangan pendidikan anak usia dini di Indonesia. Melalui UU tersebut keberadaan dan program-program pendidikan anak usia dini lebih memiliki kepastian hukum dan lebih jelas kedudukannya. Semua bentuk pendidikan usia dini dipayungi, baik TK, raudhatul athfal, kelompok bermain (play group), TPA, pendidikan keluarga dan lingkungan, serta bentuk-bentuk lain yang sederajat. UU tersebut juga mengakui kesetaraan peranan ketiga jalur pendidikan, yakni formal, nonformal, dan informal dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini.

Untuk memperluas peluang anak-anak usia dini dalam memperoleh pendidikan, jalur informal sangat memberikan harapan. Namun walau telah memiliki payung hukum sehingga kedudukannya lebih pasti dan jelas, dalam pelaksanaannya di lapangan pendidikan anak usia dini menemui banyak kendala.

Kurang Menyentuh.

Di antaranya akibat sosialisasi kurang menyentuh seluruh lapisan masyarakat, baru sebagian kecil yang memiliki kesadaran cukup baik untuk memberi pendidikan anaknya sejak dini. Itu pun masih banyak terjadi salah tafsir. Pendidikan anak usia dini seolah-olah hanya bertumpu pada TK, kelompok bermain, dan sejenisnya yang bersifat formal.
Keterbatasan sarana yang terjangkau mendorong swasta berlomba-lomba “membisniskan” jenis pendidikan tersebut dengan tawaran fasilitas yang wah. Mulai penerapan bilingual atau dwibahasa, laboratorium komputer, gedung sekolah megah, guru-guru yang kompeten, hingga berbagai pendukungnya. Orang tua harus mengeluarkan uang jutaan rupiah kalau ingin memasukkan anaknya ke TK atau kelompok bermain yang termasuk favorit. Lebih salah-kaprah lagi, banyak yang merasa kurang bergengsi dan percaya diri jika tak memasukkan anaknya ke TK atau kelompok bermain favorit.
Kedua, faktor geografis menyebabkan layanan pendidikan anak usia dini formal dan nonformal tidak mampu menjangkau seluruh sasaran. Banyak anak-anak usia dini yang tinggal di kepulauan terpencil dan daerah-daerah pelosok yang tak tersentuh oleh layanan transportasi memadai. Satu-satunya cara mengatasi persoalan itu adalah mengembangkan pendidikan anak usia dini yang bersifat informal, yakni berbasis keluarga dan masyarakat. Namun untuk itu memerlukan orang tua atau orang dewasa yang memiliki semangat belajar agar mampu mendidik anak-anak di keluarga dan lingkungannya.
Ketiga, jumlah tenaga terdidik yang diharapkan menjadi agen-agen pengembangan pendidikan anak usia dini masih terbatas. Selain itu, sebagian besar sumber daya manusianya berkualitas rendah sehingga belum bisa diharapkan banyak untuk mengembangkan sekaligus menyosialisasikan pendidikan tersebut. Penyebabnya antara lain tidak banyak perguruan tinggi yang memiliki perhatian serius terhadap penyediaan tenaga pendidikan anak usia dini.

Keempat, faktor ekonomi sebagian masyarakat kita yang tergolong memprihatinkan juga menjadi salah satu kendala menggalakkan pendidikan anak usia dini.
Perhatian masyarakat terfokus pada bagaimana memenuhi kebutuhan pokok, terutama pangan, sehingga pendidikan anak-anak agak terabaikan. Untuk mengatasi beberapa kendala yang menghambat layanan pendidikan kepada anak-anak usia dini tersebut bisa ditempuh beberapa langkah. Terutama memperluas jangkauan layanan melalui pendidikan nonformal dan informal yang berbasis keluarga serta lingkungan. Perlu disosialisasikan bahwa pendidikan anak usia dini bukan hanya TK atau taman bermain formal, melainkan juga TPA, bina keluarga balita, posyandu, serta keluarga sendiri.
Organisasi-organisasi kemasyarakatan perlu digerakkan agar pendidikan tersebut menyentuh anak-anak dari kelompok masyarakat paling bawah serta anak-anak di daerah-daerah terpencil. Departemen Pendidikan Nasional telah menjalin kerja sama dengan PKK, Muslimat NU, Aisyiah, dan Kowani untuk meningkatkan jumlah anak usia dini yang memperoleh pendidikan. Data Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini menyebutkan di Indonesia saat ini ada 9.668 pos pendidikan anak usia dini yang terdiri atas 635 TPA, 7.784 kelompok bermain, serta 1.249 pos lain berupa pos pelayanan terpadu (posyandu), bina keluarga balita, dan berbagai organisasi kewanitaan. Pendidikan anak usia dini memerlukan penanganan secara multidisipliner yang melibatkan antara lain ahli gizi, kesehatan, pendidikan, psikologi, dan sosiologi. Sekali lagi, pendidikan anak usia dini sebagai peletak dasar dalam upaya mencetak generasi berkualitas harus ditangani secara serius, bahkan memperoleh prioritas. Seluruh masyarakat ikut memikul tanggung jawab, bukan hanya pemerintah

Tinggalkan komentar