![IMG_20150505_045022.JPG image](https://bangozan69.wordpress.com/wp-content/uploads/2015/05/wpid-img_20150505_045022.jpg?w=700)
Sekitar dua tahun lalu, saat kami melakukan assessment di
sebuah pemukiman padat di bilangan Jakarta Selatan, di
mana pemukiman tersebut lokasinya persis bersebelahan
dengan kompleks perkantoran dan apartemen megah yang
dihuni oleh multinational corporation, kami mendapatkan
sebuah kondisi seperti di bawah ini.
Situasi dan kondisi sosial di atas saya pikir sudah tidak
asing lagi kita temui di sekitar kita. Namun yang paling
penting adalah bahwa kita bisa melihat kenyataan ini
dengan memetakan permasalahan sesungguhnya bukan
dari apa yang nampak di permukaan saja.
Fakta tersebut di atas merupakan sebuah konsekuensi atas
masalah sesungguhnya. Hanya dampaknya saja. Semacam
gejala dari sebuah penyakit. Efek samping yang selalu
ditanyakan dokter, untuk mendiagnosa, apa penyakit
(masalah) sesungguhnya. Karena untuk menyebutkan ‘apa
permasalahan’ sesungguhnya, kita perlu bertanya:
mengapa kondisi lingkungan begitu buruknya? mengapa
muncul persoalan narkoba dan kenakalan anak yang
hampir 40%? oleh sebab apa konflik dan kriminalitas bisa
terjadi? mengapa masih ada angka drop out dalam
pendidikan kita?
Tulisan ini akan menyoroti mengenai “narkoba dan
kenakalan anak” yang menempati peringkat pertama atas
suatu kondisi sosial dalam masyarakat kita (lihat chart di
atas), yaitu sebesar 39,3%. Untuk itu perlu kita mengetahui
terlebih dahulu, siapakah remaja ini.
Masa adolesence adalah masa ‘kebingungan’ seseorang
atas apa yang terjadi dalam dirinya sendiri. Secara fisik
dan emosi, ia telah berubah dari anak-anak menjadi
remaja. Dia belum memahami apa yang teradi pada
dirinya. Berikut di bawah ini hasil assessment saya
selanjutnya mengenai remaja.
Karakteristik remaja
Mencari identitas diri, dan mengalami kebingungan akan
perubahannya
Sangat antusias akan sesuatu yang menarik minatnya
Ingin selalu dilibatkan / diberi tanggung jawab
Sudah mampu menunjukkan / mengembangkan bakatnya
Meningkatnya rasa kemandirian
Ingin di dengar / dihargai opininya, dan mulai berani
mengungkapkan ketidaksetujuannya
Emosi yang meledak-ledak
Mulai lebih dekat dengan teman daripada keluarga, dan
mulai jarang berada di rumah
Senang meniru perilaku idola
Mulai berani bereksperimen dengan sesuatu yang beresiko.
Setelah memahami karakteristik remaja tersebut di atas,
kita juga perlu melihat juga faktor-faktor di luar remaja itu
sendiri seperti, bagaimana komunikasi dengan orang tua
terjalin. Bagaimana perilaku ortu sehari-hari di rumah,
bagaimana intensitas waktu yang disediakan ortu kepada
anak-anaknya. Bagaimana dukungan ortu terhadap
aktivitas anak-anaknya dan bagaimana intensitas media
elektronik yang digunakannya.
Jika kita sebagi ortu hanya sibuk untuk melarang ini itu
tanpa menyediakan solusi bagi mereka, ini hanya akan
membuat mereka ‘frustasi.’ Mereka dilarang untuk
mengakses konten pornografi misalnya tapi mereka juga
melihat ortunya malah menyimpan konten pornografi di
iPad-nya, dan menontonnya saat ‘sidang dewan yang
terhormat.’ 🙂
Ortu hanya bisa mengatakan anaknya nakal tanpa mau
mencari akar masalahnya. Seperti halnya cara pemerintah
menangani persoalan TKI, pemerintah hanya melihat dari
kasus (alm) Ruyati saja. Lalu langkah yang dilakukan
adalah moratorium. Pemerintah tidak ‘menyentuh’ akar
masalah sesungguhnya dari persoalan TKI tersebut, bahwa
melimpahnya SDM dalam negeri harus dibarengi dengan
pembukaan lapangan kerja yang banyak di atas sumber
daya alam yang sangat kaya ini. Atau meningkatan
pengetahuan dan keterampilan SDM yang besar ini agar
bisa hidup sejahtera di desa tanpa harus ke kota atau ke
luar negeri menjadi ‘pekerja kasar.’
Hal ini serupa jika kita melihat sebuah pohon dengan
buahnya yang busuk, lalu kita memangkas ranting atau
dahan di buah yang busuk tersebut. Padahal kita perlu
mengetahui betul bahwa buah yang busuk itu terjadi
karena kurangnya pemupukan, akarnya tidak mendapatkan
unsur-unsur yang baik untuk pertumbuhan, atau daunnya
terserang virus, dan kita tidak melakukan pencegahan atas
invasi virus tersebut.
Begitu juga dengan persoalan narkoba pada remaja.
Seringkali penanganan yang dilakukan adalah dengan
menangkap pengguna atau merehabilitasi para
penggunanya. Ini benar, tapi ada akar masalah
sesungguhnya, yang tentu saja bermacam-macam
penyebabnya. Banyak persoalan-persoalan di masyarakat
ini yang diselesaikan bukan dengan mencari akar
masalahnya tapi hanya menyelesaikan pada ‘apa yang
nampak’ saja. Pada sakit perutnya saja, bukan pada
‘masuk angin’ atau penyakit maag-nya. Pada sakit
kepalanya saja bukan pada migren atau sinusitis-nya.
Aulia Gurdi dalam artikelnya Ketika Virus Pornografi
Meracuni ABG-ku , berbagi pengalamannya tentang
anaknya yang mulai mengakses konten pornografi di
handphone-nya. Konten pornografi saat ini memang sudah
tidak bisa dielakkan lagi sangat mudah diakses oleh
siapapun juga, tak terkecuali anak-anak sekalipun. Bahkan
ustadz atau da’i pun yang sering berkoar-koar
antipornografi pun tidak luput dari melihatnya juga. Seperti
saya yang ‘mengenal’ Miyabi justru dari MUI yang
berteriak-teriak tentang bintang porno tersebut.
Dengan kenyataan demikian, filter pornografi bagi para
anak-anak dan remaja bukan lagi seberapa kuat kita
melarang anak-anak kita untuk mengaksesnya, melainkan
mencoba mengalihkan perhatiannya kepada hal-hal lain
yang juga ‘merangsang’ minatnya. Membuatnya
mengeluarkan energi remajanya yang menggelegak
terhadap kesibukan lain. Karena memahami anak bukan
sekedar melarang ini itu saja, tapi juga mendorong anak
kepada suatu minatnya juga.
Beri anak keleluasaan yang besar untuk mengekspresikan
kreativitasnya. Biarkan anak me-‘ngulik’ segala sesuatu
yang memuaskan rasa penasarannya, biarkan energi-nya
habis berjam-jam untuk hoby-nya. Yaitu dengan
memberikan kebebasan berkespresi kepada anak-anak
remaja untuk menuangkan gagasan dan karyanya.
Jangan terlalu cepat mem-vonis ‘anak nakal’ dan
menyingkirkan mereka untuk tidak boleh ikut terlibat dalam
kegiatan positif di sekolah. Anak yang berperilaku sedikit
menyimpang bukanlah ’sakit.’ Mereka hanya menuangkan
ekspresinya saja. Ini yang perlu kita pahami bersama.
Jadi kalau kita bisa mem-fasilitasi anak dengan aktivitas
yang menjadi minatnya, misalnya dengan alat musik,
peralatan seni lukis, ikut kegiatan bela diri, olah raga, atau
kegiatan-kegiatan fisik yang agak ekstrim sekali pun (ada
resikonya tentu) akan lebih baik dari pada terjerumus ke
hal-hal yang lebih parah.
Yang pasti, semakin sibuk dan semakin sulit kegiatan dan
memancing rasa penasarannya, semakin banyak waktu
yang dihabiskannya pada bidang tertentu, akan
meminimalisir waktu si remaja untuk mengakses konten-
konten negatif di internet.