Hujan Di Akhir December

Hujan di penghujung bulan November ini seolah siap menyambut kedatangan Desember yang sudah siap mengetuk pintu kehidupan.

Membuat selimut tebal dan secangkir kopi panas menjadi hal yang paling diinginkan bersamaan dengan serial televisi yang ditayangkan.

Ah, pula semangkuk mie instan dengan telur dan kornet setia menemani kala perut kelaparan.

Atau berkutat dengan laptop, menarikan jemari di atas keyboard, lalu menuliskan kisah-kisah, puisi-puisi, sajak-sajak tentang—

“Jangan pernah menuliskan tentang hujan.”

—hujan.

Aku mengangkat kepala, retinaku dipertemukan dengan retinanya.

“Mengapa?”

“Perginya hujan berpamit pada langit.”

Aku menaikkan kedua alisku, meminta penjelasan lebih.

“Hujan turun untuk berkencan dengan bumi. Sedang langit dengan setia menunggu hujan kembali padanya. Padahal langit menatap hujan bercumbu dengan bumi, membuatnya menatap cemburu, membuatnya merasa sakit.”

“Lalu?”

“Jangan pernah menuliskan tentang hujan, aku tidak suka. Ketika ia merasakan sakitnya jatuh pada pelukan bumi, ia malah kembali pada langit lewat uap.”

Aku tersenyum kecut, sebab tahu ia menyindirku.

“Yang penting, aku, sang hujan, kembali pada kamu. Sang langit. Sebab sejatinya langit ialah rumah bagi hujan. Walau hujan kembali tidak dalam bentuk air, melainkan uap-uap. Tetapi langit berhasil kembali menyempurnakan hujan. Kembali menjadikannya air,” ujarku.

Ia menatapku dalam diam.

“Jangan benci aku lagi, ya?”

Ia menghela napas. “Aku tidak benci, aku hanya tidak suka.”

Tinggalkan komentar