Menikah Dulu Apa Punya Rumah Dulu?

Dulu waktu mau melamar (calon) istri, ada unsur nekad saya terapkan di batin ini, pasalnya pekerjaan terbilang belum mapan dan gaji masih pas-pasan. Untuk memenuhi kebutuhan bulanan, saya musti pandai-pandai berhitung, menghemat pengeluaran dengan tepat dan cermat.

Demi mewujudkan impian menikah, kalau ada rejeki separuh lebih langsung ditabung. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa menikah butuh persiapan biaya selain mental.

Tidak peduli (saat itu) belum ketemu dengan yang mau dilamar, yang penting adalah menyiapkan diri dengan giat menabung.

Apabila suatu saat ketemu yang cocok, bisa secepatnya melamar. Dengan menabung, saya bisa memberi seserahan yang pantas. Sehingga harga diri sebagai lelaki, setidaknya bisa saya pertanggungjawabkan, dengan memberi persembahan terbaik sesuai kemampuan.

Namanya juga manusia, pikiran ini kadang seperti layangan (tarik ulur dan naik turun), apalagi kalau membayangkan kehidupan setelah menikah. Sempat ragu-ragu dan ciut nyali ini, dengan gaji yang belum seberapa, apakah cukup untuk menafkahi anak istri.

Bagaimana kalau istri hamil, pasti biaya hidup akan bertambah, membayar kontrol kehamilan ke dokter, membeli susu ibu hamil dan kebutuhan ini itu. Bagaimana kalau anak sudah lahir, pasti biaya lebih banyak lagi, membeli susu, diapers, minyak telon, bedak dan kebutuhan bayi yang tidak murah.

Ajaibnya, setiap kegaulauan datang, kehidupan selalu memberi jawaban, melalui kejadian tidak terduga di sekitar kita. Kala itu saya mendapatkan pencerahan, bahwa untuk tujuan baik tidak perlu kawatir, pasti diiberi jalan oleh Sang Khaliq.

Koleksi pribadi

Suatu siang menjelang jam makan tiba, saya membaca kertas tertempel di papan pengumuman di ruangan kantor. Tertulis bahwa office boy tengah berbahagia, istri yang dinikahi satu tahun lalu melahirkan secara normal.

Mendapati kejadian ini, saya disadarkan pada satu hal, bahwa kekawatiran kehidupan setelah menikah terlalu berlebihan. Saya berpikir, gaji sebagai marketing, pasti lebih besar dari gaji office boy, nyatanya dia berani menikah dan baru saja memiliki buah hati.

Sejak saat itu batin ini semakin mantap, bahwa kehidupan pasca pernikahan tidak seseram yang ada dalam bayangan.

Apakah saya sudah ketemu jodoh? Belumlah, hehehe.

Tapi saya semakin optimis menjemput jodoh, dengan berusaha memantaskan diri, agar ditunjukkan kepada pasangan yang sekufu agar bisa saling mengisi kekurangan. Alhamdulillah, (lagi dan lagi) kehidupan memberi jawaban melalui cara tidak dinyana—saya teruskan nanti, jadi baca sampai selesai..

Kalian pilih mana, menikah dulu baru beli rumah, atau beli rumah dulu baru menikah? Enak pasti ya, sebelum menikah sudah punya rumah sendiri, jadi tidak perlu ngontrak atau tinggal di rumah mertua.

Waktu masih ngantor, beberapa teman marketing ada yang lebih muda usia, saya tak segan mengajak bercanda mencairkan suasana. Satu teman (sekira 33 tahun-an) mengajak ngobrol tentang pernikahan, karena usianya sudah pantas menikah –sebenarnya lebih dari pantas.

Sebagai senior, saya dianggap bisa memberi masukan, saya yang sudah punya anak dan istri, menurut teman ini pengalaman berumahtangga dipandang sudah cukup.

Tinggalkan komentar